Halaman

Minggu, 03 November 2013

Pengorbanan Cinta Salman Al-Farisi


 

Alangkah bahagianya apabila kita dapat menikahi seseorang yang kita cintai. Namun, bagaimana jika seseorang yang kita cintai pada takdir yang ditetapkan Allah harus menikah dengan orang lain atau sahabat bahkan saudara kita sendiri? Hal ini bukan cerita dongeng, tapi PENGORBANAN yang pernah dialami oleh salah satu sahabat Rasulullah SAW, ia adalah Salman Al-Farisi ra. Cintanya harus dikorbankan untuk saudaranya yang ia cintai karena Allah.

salman Al-Farisi pada awal hidupnya adalah seorang bangsawan dari Persia, sebagai seorang Persia ia menganut agama Majusi, tapi ia tidak merasa nyaman dengan agamanya. Kemudian ia mengalami pergolakan batin untuk mencari agama yang dapat menentramkan hatinya. Pencarian agamanya membawa hingga ke Jazirah Arab dan akhirnya memeluk agama Islam.

Ia menjadi pahlawan dengan ide membuat parit dalam upaya melindungi kota Madinah dalam pertempuran Khandaq. Setelah meninggalkan Nabi Muhammad, ia didkirim untuk menjadi gubernur di daerah kelahirannya hingga ia wafat. Salman Al-Farisi termasuk sahabat Nabi yang dekat bahkan ada sebuah riwayat Rasulullah SAW menyatakan, “ Salman termasuk keluarga bagi kami”.

Salman AL-Farishi memang sudah waktunya untuk menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat dihatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih, tetapi sebagai pilihan dan pilihan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilihan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun ia merasa asing disini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukan tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum dikenalnay. Ia berfikir, melamar gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seseorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khitbah. Maka disampaikannya gelegak hati itu kepada sahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.

“Subhanallah...wal hamdulillah..., girang Abud Darda mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua sahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

“ saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman Al-Farisi seorang Persia. Allah telah memulyakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama disisi Rasulullah SAW, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri anda untuk dipersuntingnya.” Fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

“ adalah kehormatan bagi kami,” ucap tuan rumah, “ menerima anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia.” “ dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ibi sepenuhnya saya serahkan kepada putri kami.” Tuan rumah memberi isyarat kearah hijab yang dibelakangnya sang putri menanti dengan segala debar hati.

“maafkan kami atas keterus terangan ini,” kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. “ tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun, jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama,  maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah, keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar dari pada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan, yaitu reaksi Salman. Bayangkan, sebuah perasaan dimana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan, sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran, bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. 

“Allahu Akbar”, seru Salman, “ semua mahar dan nafkah yang telah kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!” teman baikku dunia akhirat. Dan aku akan menjadi saksi pernikahan  bersejarah kalian!” air mata kasih dan syukur membening suasana redup disuatu petang itu.

Subhanallah...... sebuah pengorbanan cinta yang agung dan mengharukan. Begitulah apabila cinta didasarkan pada cinta karena Allah. Sakit..akan menjadi indah karena Allah. 

Semoga kita bisa mengambil hikam dari kisah Salman Al-Farisi ini  ^_^

Ref: Jalan Cinta Para Pejuang, karya Salim A. Fillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar