-->
Ada dua istilah yang digunakan dalam al-Quran yang digunakan untuk
penutup kepala yaitu khumur
dan jalabib, keduanya dalam bentuk jamak dan generik. Kata khumur (QS An-Nur:
31) bentuk jamak dari kata khimar dan jalabib (QS Al-Ahzab: 59) bentuk jamak
dari kata jilbab.
Al-Qur'an dan al-Hadis tidak pernah secara khusus menyinggung bentuk pakaian
penutup muka. Bahkan, dalam al-hadis, muka termasuk dalam pengecualian dan
dalam suasana ihram tidak boleh ditutupi. Lagi pula, ayat-ayat yang berbicara
tentang penutup kepala tidak satu pun disangkutpautkan dengan unsur mitologi
dan strata sosial. Dua ayat tersebut di atas merupakan tanggapan terhadap
kejadian khusus yang terjadi pada masa Nabi. Penerapan ayat seperti ini
menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama usul fiqh, apakah yang
dijadikan pengangan, apakah lafaznya yang bersifat umum ataukah sebab turunnya
yang bersifat khusus.
Dua ayat tersebut dalam konteks keamanan dan kenyamanan kaum perempuan.
Bandingkan dengan tradisi chador dalam tradisi Sasania-Persia, dianggap sebagai
pengganti kemah menstrual (menstrual hut), tempat pengasingan perempuan
menstruasi di luar perkampungan. Sedangkan dalam tradisi Yunani, jilbab
dianggap sebagai indentitas kelas sosial tertentu.
Ayat khimar turun untuk menanggapi model pakaian perempuan yang ketika itu
menggunakan penutup kepala (muqani'), tetapi tidak menjangkau bagian dada,
sehingga bagian dada dan leher tetap kelihatan. Menurut Muhammad Sa'id
al-'Asymawi, Surat al-Nur/24:31 turun untuk memberikan pembedaan antara
perempuan mukmin dan perempuan selainnya, tidak dimaksudkan untuk menjadi
format abadi (uridu fihi wadl' al-tamyiz, wa laisa hukman muabbadan).
Ayat jilbab juga turun berkenaan seorang perempuan terhormat yang bermaksud
membuang hajat di belakang rumah di malam hari tanpa menggunakan jilbab, maka
datanglah laki-laki iseng mengganggu karena dikira budak. Peristiwa ini menjadi
sebab turunnya surat al-Ahzab/33:33. Menurut Al-'Asymawi dan Muhammad Syahrur,
terkait dengan alasan dan motivasi tertentu (illat); karenanya berlaku kaidah:
Suatu hukum terkait dengan illat, di mana ada illat di situ ada hukum. Jika
illat berubah, maka hukum pun berubah.
Ayat hijab, sangat terkait dengan keterbatasan tempat tinggal Nabi bersama
beberapa istrinya dan semakin besarnya jumlah sahabat yang berkepentingan
dengannya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (perlu
diingat, ayat hijab ini turun setelah kejadian tuduhan palsu/hadis al-ifk
terhadap 'Aisyah), Umar mengusulkan agar dibuat sekat (Arab: hijab) antara
ruang tamu dan ruang privat Nabi. Tetapi, tidak lama kemudian turunlah ayat
hijab.
Sedangkan, hadis yang berhubungan langsung dengan penggunaan jilbab hanya
ditemukan dalam dua hadis ahad, hadis yang diriwayatkan perorangan, bukan
secara kolektif dan massif (masyhur atau mutawatir). Hadis pertama bersumber
dari Aisyah, Rasulullah bersabda, "Tidak diperkenankan seorang perempuan
yang beriman kepada Allah dan Rasulnya jika sudah sampai usia balig menampakkan
(anggota badannya) selain muka dan kedua tangannya sampai di sini," sambil
menunjukkan setengah hasta.
Hadis kedua dari Abu Daud yang diterima dari Aisyah, yang menceritakan ketika
Asma binti Abi Bakr masuk ke rumah kediaman Rasulullah SAW, lalu Rasulullah
mengatakan kepadanya, "Wahai Asma, sesungguhnya perempuan jika sampai usia
balig, tidak boleh dipandang kecuali yang ini," sambil Rasulullah
menunjukkan wajah dan telapak tangannya.
Menurut al-'Asymawi, kedua hadis tersebut termasuk hadis ahad, bukan mutawatir
atau masyhur. Berdasar dengan hadis ahad memang kontroversial di kalangan ulama
Usul Fiqh. Salah satu hadis tersebut di-mursal-kan (jaringan penutur terputus
sampai pada tabaqat sahabat) oleh Abu Daud, karena bersumber dari Khalid ibn
Darik yang bukan hanya tidak berjumpa (mu'asarah) tetapi juga tidak ketemu
(liqa') dengan Aisyah. Di samping itu, hadis ini mulai populer pada abad ketiga
Hijriah., dipopulerkan oleh Khalid ibn Darik, yang kemudian dimonumentalkan
dalam Sunan Abu Daud. Kalau sekiranya hadis ini direpresentasikan pada umat
Islam, maka sejak awal jilbab menjadi tradisi kolektif keseharian (sunnah
mutawatirah bi al-fi'l), bukannya dengan kualifikasi hadis ahad-mursal. Tradisi
jilbab di kalangan sahabat dan tabi'in, menurut al-'Asymawi, lebih merupakan
keharusan budaya daripada keharusan agama.
Muhammad Syahrur dalam bukunya Al-Kitab wa al-Qur'an juga pernah menyatakan
hijab hanya termasuk dalam urusan harga diri, bukan urusan halal atau haram.
Pada awal abad ke-19 Qasim Amin dalam Tahrir al-Mar'ah sudah mempersoalkan hal
ini. Namun perlu ditegaskan, meskipun pemikir itu berpandangan kritis terhadap
jilbab, tetapi mereka tetap mengidealkan penggunaan jilbab bagi perempuan. Inti
wacana mereka adalah bagaimana jilbab tidak membungkus kreativitas dan
produktivitas perempuan, bukannya melarang atau menganjurkan pembukaan jilbab.
Ketika gerakan para mullah mulai marak di Iran pada tahun 1970-an dan
mencapai puncaknya ketika Imam Khomeini berhasil menggusur Reza Pahlevi yang dipopulerkan
sebagai antek dunia Barat di Timur Tengah, maka Khomeini menjadi lambang
kemenangan Islam terhadap boneka Barat. Simbol-simbol kekuatan Khomeini, seperti foto
Imam Khomeini dan komunitas Black Veil menjadi tren di kalangan generasi muda
Islam seluruh dunia. Semenjak itu jilbab mulai menghiasi kampus dunia Islam,
tidak terkecuali Indonesia. Identitas jilbab seolah sebagai lambang kemenangan.
Perkembangan berikutnya,
ketika perang dingin blok Timur dan blok Barat usai berbarengan dengan semakin
pesatnya kekuatan pengaruh globalisasi, maka timbul kecemasan lebih kompleks
dari kalangan umat Islam. Islam dan berbagai pranatanya berhadapan langsung
dengan dunia Barat. Apa yang dilukiskan Huntington benturan Barat-Islam akan
terjadi pada pasca benturan Timur-Barat, menunjukkan adanya tanda kebenaran,
terutama setelah peristiwa 11 September 2001.
Sebagian umat Islam percaya
bahwa untuk mengembalikan kekuatan Islam seperti zaman kejayaan dulu, umat
Islam harus kembali kepada formalisme keagamaan dan sejarah masa lampaunya.
Semangat mengembalikan simbol dan identitas Islam masa lalu terus dipompakan,
termasuk di antaranya penggunaan jilbab bagi kaum perempuan dan pemeliharaan
kumis dan jenggot bagi laki-laki.
Kadar proteksi dan ideologi
di balik fenomena jilbab di Indonesia tidak terlalu menonjol. Fenomena yang
lebih menonjol ialah jilbab sebagai tren, mode, dan privacy sebagai akumulasi
pembengkakan kualitas pendidikan agama dan dakwah di dalam masyarakat. Lagi
pula, bukankah salah satu ciri budaya bangsa dalam potret perempuan masa lalu
adalah kerudung? Tidak perlu over estimate atau fobia bahwa fenomena jilbab
merupakan bagian dari jaringan ideologi tertentu yang menakutkan. Jilbab tidak
perlu dikesankan seperti "imigran gelap" yang selalu dimata-matai,
seperti yang pernah terjadi pada masa lalu yaitu fenomena jilbab dicurigai
sebagai bagian dari ekspor Revolusi Iran. Sepanjang fenomena jilbab tumbuh di
atas kesadaran sebagai sebuah pilihan dan sebagai ekspresi pencarian jati diri
seorang perempuan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, itu sah-sah
saja. Tidakkah manusiawi jika seseorang menentukan pilihannya secara sadar?
Pada masa sekarang, jilbab
yang dicitrakan sebagai sebuah indentitas muslimah yang baik mengalami semacam
distorsi yang bergeser dari aturan yang melingkupinya. Kaidah atau aturan
berbusana semakin jauh dari etika islam. Jilbab yang semula merupakan hal yang
boleh dikatakan harus, sekarang berubah menjadi semacam aksesoris pelengkap
yang mendukung penampilan para wanita islam. Hal ini mengkhawatirkan. Berkaitan
dengan latar belakang turunnya ayat jilbab yang meluruskan tradisi jilbab
wanita pra-Islam yang melilitkan jilbabnya kepunggungnya, agar dijumbaikan ke
depan dadanya, agar tidak memancing laki-laki iseng mengganggu, karena
menganggap mereka adalah budak. Namun hal ini kembali terjadi pada masa
belakangan ini. Berapa banyak kita menyaksikan para muslimah yang memakai
jilbab dengan mencontoh kembali cara berjilbabnya wanita jahiliyyah.
Seakan-akan dengan telah memakai jilbab dengan seadanya mereka telah memenuhi
kewajiban mereka menutup aurat. Jilbab yang berkembang belakangan disebut
dengan kudung gaul atau kudung gaya selebritis. Islam secara spesifik memang
tidak menentukan bentuk dari busana muslimah, namun yang jelas menetapkan
kaidah yang jelas untuk sebuah busana agar disebut sebagai busana muslimah.
Syarat-syarat busana muslimah menurut Al Albani adalah: (1) Busana yang
meliputi seluruh badan selain yang dikecualikan (muka dan telapak tangan). (2)
Busana (jilbab) yang tidak merupakan bentuk perhiasan kecantikan. (3).
Merupakan busana rangkap dan tidak tipis. (4) Lebar dan tidak sempit, sehingga
tampak bagian dari bentuk tubuh. (5) Tidak berbau wangi-wangian dan tidak
tipis. (6) Tidak menyerupai busana laki-laki. (7) Tidak menyerupai busana
wanita-wanita kafir. (8) Tidak merupakan pakaian yang menyolok mata atau aneh
dan menarik perhatian.
Sedangkan menurut H. RAy Sitoresmi Prabu Ningrat, jilbab lebih merupakan produk
sejarah, karena ajaran Islam sendiri tidak memberikan corak atau model pakaian
secara rinci. Karena ia lebih merupakan mode, maka bisa berbeda atara daerah
satu dengan daerah lainnya. Dan lagi menurutnya berdasarkan dari ajaran Islam
yang terkandung dalam surat al-A'raf ayat 26, al-Ahzab ayat 59 dan an-Nur ayat
31 diketahui bahwa esensi dari pakaian yang bernafaskan taqwa bagi wanita
mukminah mengandung unsur sebagai berikut, (a) menjauhkan wanita dari gangguan
laki-laki jahat dan nakal, (b) menjadi pembeda antara wanita yang berakhlaq
terpuji dengan wanita yang berakhlaq tercela, (c) menghindari timbulnya fitnah
seksual bagi kaum laki-laki dan (d) memelihara kesucian agama dari wainta yang
bersangkutan. Pakaian yang memenui empat prinsip ini seharusnya memiliki
syarat-syarat sebagai berikut, yaitu, menutupi seluruh badan kecuali muka dan
telapak tangan, bahan yang digunakan tidak terlalu tipis sehingga tembus
pandang atau transparant dan berpotongan tidak ketat hingga dapat menimbulkan
semangat erotis bagi yang memandangnya.
Berkaitan dengan fungsi jilbab yang disyari'atkan dalam Islam ini adalah
menutup aurat wanita yang diwajibkan menutupnya. Sampai seberapa ukuran tubuh
yang harus ditutup dengan jilbab akan sangat tergantung dengan pemahaman ulama
terhadap nash-nash al-Qur'an dan Sunnah yang bersifat zanni (dapat ditafsirkan),
dan pendapat para fuqaha' dalam ijtihad mereka tentang batas aurat wanita
sebagaimana yang digariskan dalam surat An-Nur ayat 31:"wala yubdina
zinatahunna illa ma zahara minha...".
Perbedaan pendapat ulama tentang aurat
tersebut adalah sebagai berikut:
- Jumhur fuqaha', diantaranya mazhab-mazhab Maliki, Syafi'i, Ibn Hazm, Syi'ah Zaidiah, yang masyhur dari Hambali dan salah satu riwayat dari mazhab Hanafi dan Syi'ah Imamiah yang diriwayatkan dari tingkatan tabi'in seperti Ata' dan Hasan Basri dan tingkatan sahabat seperti 'Ali ibn Abi Talib, A'isyah dan Ibn Abbas berpendapat bahwa:"hanya muka dan kedua telapak tangan saja yang bukan termasuk aurat wanita."
- Sufyan as-Sauri, Mazin dan salah satu kalangan dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa, muka dan kedua talapak tangan dan telapak kaki tidak termasuk aurat bagi kaum wanita.
- Salah satu pendapat dari kalangan mazhab Hambali dan sebagian Syi'ah Zaidah dan Zahiri berpendapat bahwa hanya muka saja dari tubuh wanita yang tidak ternasuk aurat.
- Salah satu riwayat dari Imam Ahmad ibn Hambal dan berpendapat Abu Bakar ibn 'Abdu ar-Rahman dari kalangan tabi'in mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa pengecualian adalah aurat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar